Afryan Thamrin

Communications is human nature. Knowledge sharing is human nurture

Archive for September, 2010

Siapa Bilang penghasilan dari bisnis IT kecil?

Pendiri perusahaan Microsof, Bill Gates, kembali menduduki posisi teratas sebagai orang terkaya di Amerika, demikian menurut laporan majalah Forbes hari Rabu, 22 September 2010.

Bill Gates dalam tahun yang ke-17 menjadi orang terkaya dengan harta senilai 54 miliar dolar Amerika Serikat, atau naik 4 miliar dolar AS dari kekayaannya tahun lalu.

Urutan ke dua orang terkaya dalam majalah Forbers ditempati oleh pengusaha Warren Buffett dengan seluruh kekayaannya bernilai 45 miliar dolar Amerika Serikat, atau meningkat 5 miliar dolar AS dari tahun lalu.

Sementara itu, keuntungan bersih pendiri Oracle Corporation, Larry Ellison, tidak berubah pada urutan ke tiga dengan kekayaannya senilai 27 miliar dolar Amerika Serikat.

Chirsty Walton, pewaris pendiri Walmart oleh Sam Walton, berada di urutan ke empat dengan kekayaannya senilai 24 milioar dolar Amerika Serikat, atau meningkat 2,5 miliar dolar AS.

sumber http://id.omg.yahoo.com/news/bill-gates-tetap-orang-terkaya-di-amerika-ryx5-47647.html

dari data yang di atas dapat kita lihat 2 dari 4 orang terkaya di Amerika adalah orang yang bisnis IT… Jadi jangan pernah berpikiran berkecimpung di dunia IT tidak akan menjanjikan 🙂

  • 0 Comments
  • Filed under: Inspiration
  • Afryan Thamrin (0932201560)
    Ernawaty (0932201466)
    Jey Nelson (0932201535)

    Profil Perusahaan

    • Merupakan perusahaan pesawat terdepan dan terbesar untuk kategori pesawat komersial dan pesawat militer serta menjadi perusahaan pendukung NASA
    • Era piston : tahun 1920-an dan 1930-an memproduksi pesawat-pesawat militer/tempur dan pesawat pembom
    • Era jet age : tahun 1950-an Boeing menjadi produsen pesawat komersial terbesar di dunia
    • Memiliki pelanggan di 90 negara terkemuka di dunia
    • Boeing menggunakan subkontraktor global sebagai salah satu alat pemasaran

    Analisa Perusahaan

    • Pesaing utamanya adalah Airbus
    • Boeing memiliki karyawan dan mekanik yang memiliki skill individual yang tinggi.
    • Pada awalnya, Boeing memiliki struktur perusahaan yang rumit, yang dikelola oleh para mekanik.

    Pangsa Pasar Boeing Tahun 2000

    Picture1

    Kendala yang Dihadapi

    • Kultur yang dibangun bersifat rahasia, formal, dan ketat.
    • Manajer jarang berinteraksi, jarang berbagi, divisi menyimpan informasi mereka sendiri, dan mekanik bersaing satu sama lain.
    • Produk Boeing 767 tidak lagi dapat bersaing di pasaran, sehingga harus dibuat produk baru yang memenuhi kebutuhan dan harapan dari konsumen, maka diluncurkan Program 777
    • Program 777 beresiko tinggi, kegagalannya bisa menjadi keruntuhan perusahaan

    Strategi yang Diterapkan :

    • Menggunakan teknologi CATIA dan didukung dengan perangkat komputer IBM
    • Mengubah gaya manajerial rahasia yang selama ini diterapkan di dalam Boeing.
    • Menerapkan budaya Knowledge Sharing, Komunikasi Terbuka, dan TeamWork, untuk dijadikan value perusahaan
    • Strategi kekuatan leverage
    • strategi akuisi dengan membeli McDonnell Douglas
    • Strategi membuka wilayah/pasar baru dan potensial

    CATIA (Computer Aided, Three-dimensional, Interactive Application)

    • Merupakan program komputer canggih Boeing yang dibeli dari Dasault Aviation, Perancis
    • 5 keuntungan yang diperoleh :
    1. menyediakan 100% visualisasi
    2. Catia diberi nilai numerik
    3. Simulasi komputer menciptakan sebuah figur manusia
    4. Komunikasi antara Boeing dan subkontraktor memberikan pembaruan desain
    5. Instruksi ditunjukkan secara eksplisit di layar tentang apa yang harus dikerjakan

    Knowledge Management dalam Boeing

    • Membentuk Design-Build Team (DBT) sehingga menciptakan gaya kepemimpinan dan manajemen yang lebih terbuka
    • Menerapkan budaya dan pemberdayaan karyawan untuk berani berbicara, menyampaikan pendapat atau saran, serta ikut berperan dalam pengambilan keputusan
    • Knowledge penciptaan produk dan perancangan pesawat

    Profil Philip Condit

    • Bekerja di Boeing mulai tahun 1965 sebagai aerodynamics engineer dalam Program Supersonic Transport (SST) dan memperoleh penghargaan atas paten “sailwing” yaitu desain sayap yang fleksible
    • Tahun 1968 – 1983 menangani proyek Boeing 707/727/737/747/757
    • Tahun 1989 menjadi Executive Vice President dan General Manager di Divisi 777
    • Tahun 1996 menjadi CEO di Boeing
    • Pensiun di Maret 2004
    • Peran Philip Condit :
    1. Philip Condit mengubah banyak struktur dan kultur manajemen di dalam Boeing
    2. Menjadi pioneer konsep manajemen yang mengintegrasikan pemasok, pekerja, dan pelanggan dalam Design-Build Team (DBT) untuk mengembangkan Program 777 dan memperoleh penghargaan “Collier Award ”

    Hasil yang Dicapai

    • Program 777 sukses dan mulai menghasilkan keuntungan sejak Juni 1995
    • Penerapan seluruh Knowledge dan budaya yang dibangun di dalam Program 777, membuat program tersebut menjadi lebih efektif dan efisien
    • Kunci efisiensi dari model 777 adalah sayapnya
    • 3 pencapaian program 777 yaitu interior pesawat, desain pesawat dan manufaktur pesawat
    • Kunci sukses Program 777 :Konfigurasi yang fleksibel ,Desain digital,Pemberdayaan pekerja


    Kesimpulan

    • Perancangan pesawat komersial yang lebih memenuhi kebutuhan dan selera pelanggan dibanding rancangan pabrikan lain
    • Boeing mampu membuat pesawat yang menjadi terobosan besar dalam sejarah penerbangan komersial, sehingga dijadikan landasan dalam model jet berikutnya
    • Keputusan untuk mengembangkan proyek 777 didasarkan pada perkiraan kebutuhan pasar akan penerbangan di masa depan
    • 777 merupakan pesawat jet Boeing pertama yang sepenuhnya diciptakan dengan komputer
    • Boeing 777 menjadikan Boeing sebagai produsen pesawat jet komersial yang paling berhasil

    Afryan Thamrin (0932201560)

    Ernawaty (0932201466)

    Jey Nelson (0932201535)

    Business Process

    Menurut Aguilar Shaven dan Olhger (2002) proses bisnis adalah it is the business processes that are the key element when integrating an enterprise. Selain itu proses bisnis didefinisikan oleh Hammer dan Champy (1993) sebagai a collection of activities that takes one or more kinds of input and creates an output that is of a value to the customer. Kemudian Aguilar Saven (2003) menekankan proses bisnis adalah business process is related to the enterprise, as it defines the way in which the goals of the enterprise are achieved. Sedangkan Laguna dan Marklund (2005) mendefinisikan proses bisnis dengan cara yang komprehensif yaitu, a business process is a network of connected activities and buffers with welldefined boundaries and precedence relationships, which utilize resources to transform inputs into outputs for the purpose of satisfying customer requirements. Sehingga dapat disimpulkan definisi proses bisnis adalah kumpulan aktivitas yang memproses input menjadi output yang memberikan value terhadap perusahaan.

    Selanjutnya konsep pemodelan proses bisnis dikembangkan dalam skala besar untuk memfasilitasi perkembangan software yang digunakan untuk mengembangkan proses bisnis, dan memungkinkan proses analisis dan re-engineering dalam melakukan peningkatan (improvement).

    Proses bisnis yang mendapat perhatian lebih adalah proses bisnis yang dapat dikembangkan/ ditingkatkan menjadi lebih efektif atau efisien serta meningkatkan system value dalam operasionalnya.

    Business Process Modelling

    Sebuah proses bisnis didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang terstruktur, dapat diukur, dan dirancang untuk menghasilkan output tertentu untuk pengguna tertentu, (Davenport, 1993). Menurut Lavery (1992), sebagian besar masalah yang dihadapi perusahaan karena prosedur bisnis internal yang tidak efektif dan efisien sehingga menghambat kinerja perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemodelan proses bisnis merupakan solusi awal untuk mengatasi masalah tersebut.

    Business process modelling akan menghasilkan sebuah model untuk menggambarkan proses bisnis tertentu dalam perusahaan tersebut dengan menggunakan berbagai teknik pemodelan diagram dan tabel. Sebuah model adalah representasi dari proses bisnis, yang mencerminkan realitas dengan menangkap semua informasi yang diperlukan pada proses perilaku. Sehingga dengan model ini, maka proses bisnis akan secara mudah dianalisa dan diperbaiki sehingga menghasilkan suatu BPI.

    Kesuksesan business process modeling begantung pada pemilihan metode pemodelan, metode dan analisis yang tepat. Untuk melakukan ini sangat banyak teknik dan metode analisis yang dapat digunakan, seperti flowchart, data flow diagram, object oriented methodology, penggunaan tabel, dan sebagainya.

    Business Process Improvement

    Business Process Improvement (BPI) has been defined as the critical analysis and radical redesign of existing processes to achieve breakthrough improvements in performance measures (such as cost reduction, time reduction or quality Improvement). (McMillan, 2001)

    Phalp (1998) menyarankan dalam menerapkan BPI pemilihan metode harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan sekarang ini, dan metode mana yang paling nyaman untuk digunakan dalam penerapannya di dalam perusahaan tersebut, karena selain metode yang tepat, faktor dampak dari manusia yang akan menjalankan serta merasakan perubahan yang terjadi baik itu menerima maupun menolak, akan menjadi faktor yang paling krusial dalam mempengaruhi tingkat kesuksesan dalam menerapakan business process improvement (BPI). Hal ini juga ditunjukkan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, bahwa faktor yang paling berbahaya untuk membuat proyek itu gagal adalah faktor resistensi dari manusia di dalam perusahaan tersebut.

    Occupational Health Care

    Occupational Health Care (OHC) dapat didefinisikan sebagai disiplin dan kegiatan yang membahas pencegahan penyakit dan kecelakaan yang disebabkan oleh resiko bahaya di tempat kerja.

    Providing a safe and healthy working environment is much more than just complying with current legislation; it is a question of sustainability for the continuity of company operations. Nowadays organizations are looking to improve by using management models that incorporate concepts of good practice in their relationships with employees, society, shareholders, suppliers and competitors. (ALLEDI, 2002).

    Increasingly the concerns of government, business-men and unions in improving the health, safety and environmental conditions of the work-place are being highlighted. Because of this planning is necessary that allows for the participation of top management and employees when it comes to finding practical and economically viable solutions (ARANTES, 2005).

    OHC sendiri sudah menjadi standar yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan di dunia, bahkan Indonesia sendiri sudah membuat regulasi yang mewajibkan setiap perusahaan memiliki OHC.

    Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 23 tentang Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktifitas kerja secara optimal, meliputi pelayanan kesehatan pencegahan penyakit akibat kerja.

    Oleh karena itu untuk meningkatkan produktifitas kerja, perusahaan mengupayakan OHC untuk menjaga kesehatan para karyawannya. Adapun tujuan dari diselenggarakannya upaya kesehatan kerja dalam suatu industri antara lain: (Sama’mur, 1992).

    1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi dan produktivitas.

    2.  Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.

    3. Memelihara dan mempergunakan sumber produksi secara aman dan efisien

    Tabullar Application Development

    Menurut Damij (2008), Tabullar Application Development (TAD) methodology represents a new concept, which is simple and very different from the ideas used in other approaches. TAD introduces an effective way to identify, model, and improve business processes, which is unique to this methodology. TAD methodology is based on the following concept: any enterprise is considered to have a number of business processes. Each business process includes a set of work processes. A work process consists of a group of procedures and activities.

    Keunggulan TAD dibandingkan metode lain adalah, TAD merupakan suatu konsep baru yang sederhana. TAD memperkenalkan cara yang efektif untuk mengidentifikasi model dan cocok digunakan dalam proyek BPI, selain itu TAD menggunakan tabel yang dapat membantu pemahaman akan proses perubahan yang akan terjadi, sehingga orang dapat mudah memahami bagaimana perkiraan hasil peruubahan tersebut dan hal ini akan mengurangi dampak resistensi manusia dalam pelaksanaan proyek BPI. TAD juga sangat mudah diterapkan sehingga investasi yang dikeluarkan tidak terlalu besar.

    Metodologi TAD juga memiliki dasar konsep seperti berikut: sejumlah perusahaan dianggap memiliki sejumlah proses bisnis, dimana setiap proses bisnis tersebut meliputi serangkaian proses kerja, dan proses kerja tersebut terdiri dari sekelompok prosedur dan kegiatan. Jadi dengan penerapan TAD yang sederhana ini, maka perusahaan dapat melaksanakanya tanpa mengeluarkan biaya yang cukup besar.

    TAD dalam penerapannya terdiri dari 6 fase/ tahap, yaitu:

    1. Business Process Identification
    2. Business Process Modelling
    3. Business Process Improvement
    4. Object Model Development
    5. Design
    6. Implementation

    Selain itu dalam perancangannya TAD menggunakan tabel, yang digunakan untuk menunjukkan proses bisnis, proses kerja, prosedur, dan kegiatan. Kemudian tabel-tabel inilah yang akan dianalisa untuk mengetahui kebutuhan perusahaan dalam menerapkan BPI. Alasan menggunakan tabel ini adalah :

    1. Tabel berguna untuk mewakili urutan peristiwa
    2. Tabel sangat mudah untuk disurvei, diperiksa, dan dikembangkan
    3. Tabel sangat mudah dipahami oleh siapapun

    PT. INTI
    (Industri Telekomunikasi Indonesia)

    • —Berpusat di Bandung dengan 695 orang karyawan tetap (posisi Maret 2009)
    • —Sebuah industri yang berbasis solusi kesisteman, (sistem infokom dan integrasi teknologi). —
    • Pelanggan utama INTI antara lain adalah “THE BIG FOUR” operator telekomunikasi di Indonesia; Telkom, Indosat, Telkomsel dan XL dan masih banyak lagi yang tersebar di seluruh Indonesia

    VISI & MISI

    —Visi:

    Visi PT. INTI adalah menjadi pilihan pertama bagi pelanggan dalam mentransformasikan “mimpi” menjadi “kenyataan”.

    —Misi :

    • —Fokus bisnis tertuju pada kegiatan jasa engineering yang sesuai dengan spesifikasi dan permintaan konsumen
    • —Memaksimalkan value (nilai) perusahaan serta mengupayakan growth (pertumbuhan) yang berkesinambungan
    • Berperan sebagai prime mover (penggerak utama) bangkitnya industri dalam negeri

    Divisi Jasa Integrasi Teknologi

    —Salah satu unit bisnis dalam PT. INTI, bergerak dalam bidang jasa integrasi teknologi yang meliputi kastemisasi sistem dan penjualan produk mandiri PT. INTI. —Produk kastemisasi perangkat lunak: Network Management System, Fault Management System —Di sisi perangkat keras produk-produknya meliputi General Purpose Agent, IMTE, IMDE, rectifier, rack and cabinet dan lain-lain.

    Tantangan yang Dihadapi Divisi JIT

    • —Pada tahun 2008, solusi atas masalah yang dihadapi pelanggan tersebar di mana-mana
    • —Dan umumnya masih melekat terutama pada teknisi yang terlibat dalam proyek untuk pelanggan yang bersangkutan (tacit knowledge).
    • —tidak adanya call center dan dokumentasi yang tidak dipelihara dengan baik. —
    • Dokumentasi yang dimiliki umumnya berupa dokumen pengembangan produk.
    • —Penanganan masalah umumnya dilakukan secara reaktif.

    Upaya  yang Dilakukan Divisi JIT

    • —Membuat media untuk menyimpan dokumen dan mengambil dokumen secara online. —
    • knowledge respository dan knowledge sharing —menjadi tools untuk mengumpulkan knowledge asset —
    • —help desk online —menangani masalah atau gangguan dari pelanggan
    • — —e-bulletin
    • —call centre dengan framework ITIL —Sebagai penghubung antara user dan manajemen layanan IT, —Menangani insiden dan permintaan dari user, —Melakukan survey atas user

    ITIL adalah framework yang terintegrasi, berbasis pada proses dan merupakan best practice pengelolaan layanan IT, dasar dari ITIL adalah Service Delivery dan Service Support

    —Dalam ITIL, semua kegiatan dalam Service Support, disimpan dalam suatu database yang disebut CMDB (Configuration Management Data Base) sebagai knowledge base —Dengan CMD —informasi dapat dikumpulkan dan disimpan dengan lebih cepat — lebih mudah serta lebih cepat untuk tindak lanjut berikutnya

    Mekanisme Call Center

    Picture2

    Kesimpulan

    • —Call center sebagai media knowledge sharing antara perusahaan dengan pelanggannya
    • —Knowledge asset perusahaan dapat menjadi dasar dalam membentuk knowledge base untuk menunjang call center —
    • Diperlukan mekanisme yang tepat untuk pengelolaan, pencarian, pengayaan (enrichment) agar bisa mendapatkan informasi yang sesuai dengan insiden atau pertanyaan pelanggan
    • —ITIL sebagai best practice dalam pengelolaan layanan IT memberikan panduan untuk mengembangkan call center
    • —E-bulletin merupakan salah satu langkah yang baik dalam memberikan knowledge untuk pelanggan, sehingga pelanggan dapat mengetahui acara-acara yang diadakan, inovasi teknologi terbaru, dan lainnya
    • —Untuk kasus di Divisi JIT – PT. INTI, baru memasuki tahap mengumpulkan atau pengembangan knowledge asset, di mana dilakukan pengumpulan semua knowledge yang dimiliki. Khususnya knowledge yang berkaitan dengan produk yang sudah dipasarkan dan yang sedang dalam proses pengembangan.

    Saran

    • —Pengkategorisasian dan menentukan knowledge apa saja yang bisa digunakan sebagai knowledge base bagi call center,
    • —Membuat interface dan mekanisme yang bisa menerjemahkan knowledge base menjadi informasi yang berguna bagi petugas call center.
    • —Mengembangkan web site yang dimiliki PT. INTI sehingga customer bisa mencari solusi sendiri dengan informasi yang telah disediakan (cth: FAQ). — —
    • Meng-upgrade teknologi call centre menjadi Computer-Telephony Integration (CTI),

    DAFTAR PUSTAKA

    Nurjahja WS, A. 2008. Call Center Berbasis knowledge. (Online) http://iatt.kemenperin.go.id/tik/fullpaper/fullpaper118_Ari_Nurtjahja.pdf

    BCG Growth-Share Matrix

    Companies that are large enough to be organized into strategic business units face the challenge of allocating resources among those units. In the early 1970’s the Boston Consulting Group developed a model for managing a portfolio of different business units (or major product lines). The BCG growth-share matrix displays the various business units on a graph of the market growth rate vs. market share relative to competitors:

    BCG

    Resources are allocated to business units according to where they are situated on the grid as follows:

    • Cash Cow – a business unit that has a large market share in a mature, slow growing industry. Cash cows require little investment and generate cash that can be used to invest in other business units.
    • Star – a business unit that has a large market share in a fast growing industry. Stars may generate cash, but because the market is growing rapidly they require investment to maintain their lead. If successful, a star will become a cash cow when its industry matures.
    • Question Mark (or Problem Child) – a business unit that has a small market share in a high growth market. These business units require resources to grow market share, but whether they will succeed and become stars is unknown.
    • Dog – a business unit that has a small market share in a mature industry. A dog may not require substantial cash, but it ties up capital that could better be deployed elsewhere. Unless a dog has some other strategic purpose, it should be liquidated if there is little prospect for it to gain market share.

    The BCG matrix provides a framework for allocating resources among different business units and allows one to compare many business units at a glance. However, the approach has received some negative criticism for the following reasons:

    • The link between market share and profitability is questionable since increasing market share can be very expensive.
    • The approach may overemphasize high growth, since it ignores the potential of declining markets.
    • The model considers market growth rate to be a given. In practice the firm may be able to grow the market.

    These issues are addressed by the GE / McKinsey Matrix, which considers market growth rate to be only one of many factors that make an industry attractive, and which considers relative market share to be only one of many factors describing the competitive strength of the business unit.

    Recommended Reading

    The Boston Consulting Group, Perspectives on Strategy

    Perspectives on Strategy contains Bruce Henderson’s original writings on the BCG growth-share matrix. Specific articles include:

    • The Product Portfolio – introduces the growth-share matrix and its dynamics, including the success sequence and the disaster sequence.
    • Cash Traps – explains why the majority of products are cash traps.
    • The Star of the Portfolio – and why market share is so important.
    • Anatomy of the Cash Cow – including the buying and selling of market share for cash cows.
    • The Corporate Portfolio – discussing the advantages of diversified companies.
    • Renaissance of the Portfolio – after the portfolio concept’s falling out of favor, this article makes the case for its return.

    The 75 articles in Perspectives on Strategy also include the pricing paradox, segment-of-one marketing®, time-based competition, and other articles summarizing the insights of Bruce Henderson and other BCG members.

    A Definition of Entrepreneurship

    A Definition of Entrepreneurship

    The concept of entrepreneurship has a wide range of meanings. On the one extreme an entrepreneur is a person of very high aptitude who pioneers change, possessing characteristics found in only a very small fraction of the population. On the other extreme of definitions, anyone who wants to work for himself or herself is considered to be an entrepreneur.

    The word entrepreneur originates from the French word, entreprendre, which means “to undertake.” In a business context, it means to start a business. The Merriam-Webster Dictionary presents the definition of an entrepreneur as one who organizes, manages, and assumes the risks of a business or enterprise.

    Schumpeter’s View of Entrepreneurship

    Austrian economist Joseph Schumpeter ‘s definition of entrepreneurship placed an emphasis on innovation, such as:

    • new products
    • new production methods
    • new markets
    • new forms of organization

    Wealth is created when such innovation results in new demand. From this viewpoint, one can define the function of the entrepreneur as one of combining various input factors in an innovative manner to generate value to the customer with the hope that this value will exceed the cost of the input factors, thus generating superior returns that result in the creation of wealth.

    Entrepreneurship vs. Small Business

    Many people use the terms “entrepreneur” and “small business owner” synonymously. While they may have much in common, there are significant differences between the entrepreneurial venture and the small business. Entrepreneurial ventures differ from small businesses in these ways:

    1. Amount of wealth creation – rather than simply generating an income stream that replaces traditional employment, a successful entrepreneurial venture creates substantial wealth, typically in excess of several million dollars of profit.
    2. Speed of wealth creation – while a successful small business can generate several million dollars of profit over a lifetime, entrepreneurial wealth creation often is rapid; for example, within 5 years.
    3. Risk – the risk of an entrepreneurial venture must be high; otherwise, with the incentive of sure profits many entrepreneurs would be pursuing the idea and the opportunity no longer would exist.
    4. Innovation – entrepreneurship often involves substantial innovation beyond what a small business might exhibit. This innovation gives the venture the competitive advantage that results in wealth creation. The innovation may be in the product or service itself, or in the business processes used to deliver it.

    Recommended Reading

    Peter F. Drucker, Innovation and Entrepreneurship

    Ini merupakan kasus yang cukup besar di Eropa, dimana sebuah perusahaan reksadana sangat bergantung dengan CRM dan KM dalam melayani pelanggan mereka. Perusahaan ini memiliki sistem yang terintegrasi antara fax, telepon, dan email. Mereka memiliki 120 karyawan yang tergolong di dalam customer communication center (CCC), yang bertugas untuk menjawab dan memberikan solusi dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pelanggan.

    Tantangan CKM

    Karena informasi hanya bertukar melalui email dari satu karyawan ke karyawan yang lain, sehingga masing-masing karyawan yang mengatur sendiri konten yang mereka butuhkan. Dengan sistem ini terjadi masalah dimana karyawan baru tidak kebagian dalam pengiriman email dan karyawan baru sangat sulit memilih konten mana yang mereka butuhkan untuk menjawab pertanyaan pelanggan.

    Upaya

    Upaya yang dilakukan oleh perusahaan adalah membangun sebuah web yang diharapkan dapat menjadi pusat informasi dari konten-konten tersebut.  Namun terjadi kendala karena data yang didalam web semakin lama semakin besar dan berantakan karena tidak ada yang bertugas khusus dalam mengatur isi konten di dalam web tersebut. Selain itu tidak ada navigasi dan fitur pencarian yang menyulitkan para karyawan untuk menggunakan web . Sehingga mereka beralih ke cara lama yaitu menggunakan email.

    Kemudian perusahaan segera merombak ulang struktur webnya dengan melengkapi fitur navigasi dan sistem pencarian, selain itu perusahaan juga membuatkan aplikasi khusus untuk mengconvert konten dari office yang dapat dirubah menjadi html sehingga dengan cepat tampil di web. Perusahaan juga mentraining karyawan-karyawannya dalam menggunakan web yang baru tersebut agar lebih optimal.

    Hasil

    Kinerja karyawan jauh lebih meningkat dari sebelumnya.

    Karyawan-karyawan baru pun tidak kesulitan mencari konten yang dibutuhkan.

    Latar Belakang

    Pada saat ini perubahan bisnis begitu cepat dan sulit untuk diprediksi. Hal ini yang menuntut kesiapan berbagai instansi seperti perusahaan ataupun universitas dalam persaingan yang begitu ketat satu sama lain dalam dunia bisnis. Dalam persaingan, baik perusahaan maupun universitas harus melewati tantangan eksternal dan internal. Oleh karena itu perusahaan/ universitas melakukan Business Process Improvement agar tidak hanya bertahan hidup, tapi mampu berkembang dengan baik.

    Salah satu hal internal yang mempengaruhi BPI dalam perusahaan/ universitas adalah culture. Culture sendiri bersifat abstrak  namun dinamis tergantung visi misi kepemimpinan, sistem di perusahaan, serta kecerdasan individual di dalam perusahaan tersebut. Sehingga culture dapat terdiri dari dua jenis yaitu corporate culture dan individual culture. Dengan Culture sudah terbentuk, maka visi dan misi perusahaan akan terlihat secara nyata bentuk dan pencapaian target yang  bisa dicapai.

    Binus University atau yang cukup dikenal dengan Binus, adalah contoh universitas yang menerapkan culture di dalamnya untuk mencapai sasaran utamanya. Bahkan culture menjadi strategi khusus oleh Binus dalam melaksanakan BPI, karena bagi Binus untuk mencapai suatu sasaran harus mendapat dukungan seluruh civitas akademika serta dukungan dari yayasan Bina Nusantara dan seluruh unit Binus lainnya sehingga terjadi suatu kerjasama yang baik melalui implementasi strategi serta disiplin dalam menjalankan evaluasi agar dapat merealisasikan sasaran-sasaran utama Binus.

    Visi dan Misi Binus

    Binus memiliki visi dan misi yang dibentuk pada tahun 2006 dan diharapkan visi tersebut akan dicapai pada tahun 2010. Visi dan misi inilah yang menjadi landasan Binus melakukan perubahan dengan melakukan BPI.

    Visi

    Unggul sebagai lembaga pendidikan berbasis teknologi informasi yang diterima sebagai panutan, siap berkompetensi dan beradaptasi terhadap perubahan global.

    Misi

    Dalam mencapai visinya, Binus menetapkan misi sebagai berikut:

    • Menyelenggarakan program-program studi yang menunjang pengembangan dan penerapan teknologi informasi, kemampuan berbahasa asing, komunikasi, kepemimpinan, kemampuan berinovasi dan berwirausaha serta berkarakter baik.
    • Menyediakan sarana dan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran yang efektif dan efisien.
    • Menjaga keterkaitan dan relevansi seluruh kegiatan pendidikan dengan kebutuhan pembangunan sosial ekonomis dan industry secara global.
    • Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak.
    • Membangun komunitas BiNusian yang menganut budaya, nilai-nilai dan ethos kerja Binus.

    Masalah dan Tantangan

    Adanya masalah dan tantangan yang dihadapi Binus dalam perkembangannya. Masalah dan tantangan yang menyebabkan Binus membentuk suatu proyek BPI untuk terus berkembang dan mampu bersaing.

    Masalah

    • Kualitas dan kuantitas dosen sebagai bagian dari sumber daya intelektual masih terbatas dan harus terus dibina dan dikembangkan
    • Kualitas tenaga pendukung masih di bawah harapan untuk memberikan pelayanan prima tanpa cacat
    • Kondisi Binus sebagai organisasi yang cepat berkembang ditakutkan menuju ketidakstabilan organisasi
    • Biaya dukungan standar internasional dan biaya operasional semakin mahal
    • Budaya organisasi sebagai perekat semua komponen Binus belum terlihat nyata dalam implementasinya dan masih perlu upaya untuk lebih memahami dan mengaktualkannya.

    Tantangan

    • Dapat bersaing dengan universitas asing
    • Dapat beperan dalam kemajuan bangsa
    • Mendapat pengakuan internasional dari program-program Binus
    • Menghasilkan lulusan yang percaya diri dan mempunyai integritas
    • Mengubah citra Binus dari hanya mengajar menjadi meneliti dan mengajar
    • Memberikan pelayanan prima tanpa cacat

    Culture

    Diatas dapat dilihat betapa pentingnya peran culture untuk mencapai visi, bahkan culture yang tidak baik dapat menjadi masalah yang cukup serius dalam perkembangan Binus. Adapun culture yang diterapkan di Binus, yaitu:

    Corporate Culture

    Corporate  culture Binus dikembangkan sebagai perekat seluruh civitas akademika. Corporate culture Binus antara lain:

    • Percaya pada Tuhan Yang Maha Esa (trust in God)
    • Perbaikan terus menerus (continous improvement)
    • Penggunaan tolak ukur atau panutan (benchmarking)
    • Tiap kegiatan harus mempunyai titik akhir (sense of closure)
    • Pengembangan suasana Kekeluargaan, Kebersamaan, dan rasa Memiliki (sense of belonging)

    Individual Culture

    Individual culture yang sehat merupakan factor kunci dan kritis dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan Binus. Individual Culture yang ditanamkan di setiap BiNusian adalah keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil.

    Pengaruh Culture

    Melihat pentingnya culture tersebut, maka individual culture di Binus diharapkan beperan sebagai enabler dalam penciptaan spirit of achievement BiNusian dan good university governance.

    Selain itu dukungan juga didapat dari coporate culture, yaitu:

    • Pembentukan rasa urgency, rasa kebersamaan, kebanggaan, percaya diri dan sense of belonging di seluruh jajaran personal
    • Penerapan budaya continous improvement melalui penanaman semangat service excellence berlandaskan nilai tanggung jawab atas hasil pekerjaan terhadap Tuhan, segenap BiNusian, dan stakeholder
    • Penciptaan lingkungan yang kondusif demi tumbuh kembangnya BiNusian yang aktif berkontribusi mendukung learning organization dengan memberikan penghargaan kepada BiNusian yang berprestasi
    • Penanaman semangat inovasi yang menggunakan tolak ukur bertaraf internasional.

    Culture yang diterapkan juga memberikan keuntungan dalam pelaksanaan project change management pada segi proses bisnis, seperti contoh

    • Pada bidang keuangan; dengan menerapakan budaya, maka manajemen keuangan akan lebih tanggap terhadap berbagai inisiatif inovasi dan pertumbuhan dengan memperhatikan kehati-hatian, value for money, akuntabilitas, dan transparansi.
    • Pada bidang IT; sistem, aplikasi, atau teknologi yang dikembangkan memiliki aspek-aspek keterhandalan, keterpaduan, skalabilitas, kemuktahiran, dan mudah digunakan.
    • Pada bidang pemasaran; unit ini menjadi katalisator dengan membangun citra Binus dengan budaya yang baik, maka Binus menjadi universitas pilihan bagi calon mahasiswa.

    Strategi Utama

    Dengan melihat sasaran dan tantangan serta masalah, Binus melakukan change management menggunakan strategi sebagai berikut:

    • Menjadi universitas yang terdepan dalam pendidikan kewirausahaan dan mencetak wirausaha handal, dan menghasilkan produk inovatif sebagai unggulan dari setiap program studi (entrepreneurship and innovation)
    • Dikenal dunia internasional (international recognition) karena program internasionalisasi, keunggulan program dan produk (product leadership)
    • Paling canggih dalam menggunakan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar (digital campus)
    • Terbentuknya 100.000 komunitas BiNusian yang akan menjadi contributor dan pembuka akses dalam pengembangan kerjasama dengan dunia industri (collaboration and BiNusian community)
    • Memiliki tenaga pengajar yang memiliki kompetensi dan integritas dan didukung staf yang professional (quality facullty and staff)

    Dengan strategi utama yang didukung oleh culture yang diterapkan inilah yang membuat Binus berhasil mencapai sasaran “university of choice” pada tahun 2010. Pencapaian ini membuat posisi Binus semakin kuat sebagai institusi pendidikan tinggi sehingga dapat lebih menyumbang kemajuan bangsa dengan memberikan pendidikan bermutu.

    Kesimpulan

    Untuk mencapai sasaran atau keberhasilan suatu proyek perlu dilakukan suatu perubahan yang mampu meningkatkan proses bisnis pada Binus. Semua dapat berjalan dengan lancar apabila terdapat usaha dan kerjasama yang efektif dari segenap civitas akademika Binus. Oleh karena itu peran corporate culture dan individual culture sangat beperan penting dalam BPI pada Binus University.

    Saran

    Perusahaan harus mampu menerapakan culture yang baik kepada setiap pihak, karena keberhasilan suatu proyek sangat bergantung dengan human resources yang terlibat didalam perusahaan tersebut. Selain itu, culture yang digunakan harus sesuai dengan budaya dimana lokasi perusahaan tersebut berada agar tidak menimbulkan hambatan pada saat penerapan.

    DAFTAR PUSTAKA

    http://djodiismanto.blogspot.com/2008/07/corporate-culture.html

    http://indosdm.com/pengaruh-budaya-perusahaan-gaya-manajemen-dan-pengembangan-tim-terhadap-kinerja-karyawan

    http://www.binus.ac.id/Data/rector%20report/renstra%20binus%20untuk%20web.pdf